Lonjakan Pengangguran Agustus 2025 Jadi Sinyal Lemahnya Daya Serap Industri Nasional

Kamis, 06 November 2025 | 11:22:12 WIB
Lonjakan Pengangguran Agustus 2025 Jadi Sinyal Lemahnya Daya Serap Industri Nasional

JAKARTA - Peningkatan jumlah pengangguran dalam enam bulan terakhir menjadi sinyal bahwa pasar tenaga kerja Indonesia masih menghadapi tekanan berat. Meski penurunan tahunan terlihat tipis, kondisi ini memperlihatkan ketidakseimbangan antara penciptaan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah pengangguran per Agustus 2025 mencapai 7,46 juta orang. Angka tersebut sedikit menurun dibandingkan Agustus 2024 yang mencapai 7,47 juta orang, namun naik dari Februari 2025 yang hanya berjumlah 7,28 juta orang.

Tren serupa terlihat pada tingkat pengangguran terbuka (TPT). Secara tahunan, TPT turun dari 4,91% pada Agustus 2024 menjadi 4,85% di Agustus 2025, tetapi meningkat dari posisi Februari 2025 yang sebesar 4,76%.

Kenaikan pengangguran di paruh kedua tahun ini memperlihatkan tekanan struktural yang masih kuat. Hal ini menjadi tantangan serius bagi pemerintah dalam menjaga stabilitas ekonomi dan lapangan kerja di tengah ketidakpastian global.

Deputi Neraca dan Analisis Statistik BPS, Moh Edy Mahmud, menjelaskan bahwa sekitar 58.000 orang kehilangan pekerjaan akibat pemutusan hubungan kerja (PHK). Persentasenya mencapai 0,77% dari total pengangguran nasional yang tercatat tahun ini.

Sektor industri pengolahan menjadi penyumbang tertinggi dalam gelombang PHK tersebut dengan 22.800 orang. Sementara itu, sektor perdagangan menyumbang sekitar 9.700 orang, dan sektor pertambangan menambah 7.700 orang ke daftar pengangguran baru.

Edy juga mengungkapkan bahwa struktur ketenagakerjaan Indonesia masih didominasi oleh pekerja informal. Proporsinya mencapai 57,80% dari total penduduk yang bekerja, jauh lebih tinggi dibandingkan pekerja formal yang hanya 42,20%.

Namun, dibandingkan tahun sebelumnya, pekerja formal justru mengalami sedikit peningkatan. “Proporsi pekerja formal per Agustus 2025 naik menjadi sekitar 42,2% dari total penduduk yang bekerja,” ujar Edy dalam keterangannya.

Faktor-Faktor Utama di Balik Kenaikan Pengangguran

Meskipun data menunjukkan ada sedikit perbaikan dari sisi pekerja formal, tekanan terhadap pasar kerja tetap tinggi. Beberapa faktor besar menjadi penyebab mengapa angka pengangguran belum mampu ditekan secara signifikan.

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, menilai ada tiga penyebab utama kenaikan pengangguran tahun ini. Ketiga faktor tersebut berkaitan langsung dengan perlambatan industri dan perubahan struktur ekonomi.

“Pertama, tekanan di industri manufaktur membuat lapangan kerja formal makin terbatas,” kata Bhima. Ia menilai permintaan ekspor produk tekstil dan alas kaki menurun, sementara pertumbuhan konsumsi domestik juga belum pulih sepenuhnya.

Kondisi tersebut membuat ekspansi sektor manufaktur melambat tajam. Padahal, industri inilah yang selama ini menjadi penyerap tenaga kerja paling besar di Indonesia.

Kedua, sektor komoditas mengalami tekanan akibat penurunan harga di pasar global. Permintaan dari negara utama seperti China dan India juga melambat, terutama untuk komoditas ekspor unggulan seperti batubara dan nikel.

Bhima menjelaskan, dampak pelemahan harga komoditas tidak hanya terasa di daerah penghasil tambang. Efeknya juga menjalar ke sektor pendukung seperti transportasi, logistik, dan industri alat berat.

Faktor ketiga berasal dari sektor digital yang selama ini dianggap sebagai motor baru penciptaan lapangan kerja. Banyak perusahaan rintisan atau start-up terpaksa melakukan efisiensi besar-besaran, bahkan menutup operasional karena pendanaan yang menipis.

Kondisi itu membuat perekrutan tenaga kerja baru di bidang teknologi informasi melambat. “Sektor digital yang dulu tumbuh agresif kini justru mulai mengerem ekspansinya,” tambah Bhima.

Menurutnya, kondisi ini memperlihatkan bahwa pasar tenaga kerja Indonesia sedang berada dalam masa transisi. Transformasi industri yang tidak diimbangi dengan peningkatan keterampilan tenaga kerja berpotensi memperlebar kesenjangan kesempatan kerja formal.

Bonus Demografi Bisa Jadi Pedang Bermata Dua

Bhima menilai, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam mengelola bonus demografi yang sedang berlangsung. Ledakan jumlah tenaga kerja muda akan menjadi peluang besar jika diarahkan dengan tepat, tetapi juga bisa menjadi ancaman jika tidak disertai kebijakan yang adaptif.

“Jika angkatan kerja muda tidak terserap di sektor formal, maka pengangguran bisa bertambah cepat,” ujarnya. Ia menekankan pentingnya strategi yang lebih konkret dalam memperluas akses kerja berkualitas bagi generasi muda.

Salah satu langkah yang disarankan adalah memperkuat program magang berbayar. Program tersebut dapat menjadi jembatan antara dunia pendidikan dan dunia kerja, sekaligus mengurangi kesenjangan keterampilan.

“Magang berbayar bisa menjadi jembatan penting agar generasi muda memperoleh pengalaman kerja sekaligus membuka peluang masuk ke sektor formal,” jelas Bhima. Ia menilai sinergi antara pemerintah dan pelaku usaha menjadi kunci utama keberhasilan program tersebut.

Selain itu, pemerintah juga perlu mendorong penciptaan lapangan kerja di sektor berorientasi domestik. Dengan memperkuat industri kecil dan menengah, peluang kerja bisa lebih tersebar merata hingga ke daerah-daerah.

Peningkatan produktivitas tenaga kerja juga menjadi keharusan di tengah perubahan teknologi yang begitu cepat. Adaptasi terhadap digitalisasi dan otomasi harus diiringi dengan pelatihan berkelanjutan agar tenaga kerja tidak tertinggal.

Bhima menegaskan bahwa tanpa perencanaan matang, bonus demografi dapat berubah menjadi beban ekonomi. Oleh karena itu, arah kebijakan ketenagakerjaan perlu fokus pada peningkatan kualitas tenaga kerja, bukan hanya pada jumlah serapan.

Tantangan Ketahanan Pasar Kerja ke Depan

Kenaikan jumlah pengangguran pada Agustus 2025 menjadi cermin bahwa ketahanan pasar kerja nasional masih rapuh. Di tengah perlambatan ekonomi global, struktur ketenagakerjaan Indonesia belum cukup kuat untuk menahan guncangan.

Perubahan pola industri akibat digitalisasi dan pergeseran permintaan dunia menuntut kebijakan adaptif yang lebih progresif. Pemerintah dituntut untuk memastikan setiap perubahan ekonomi mampu menciptakan lapangan kerja yang inklusif dan berkelanjutan.

Meski data menunjukkan sedikit perbaikan di sisi formal, peningkatan angka PHK menandakan masih lemahnya daya tahan sektor riil. Ke depan, fokus kebijakan perlu diarahkan pada penguatan industri bernilai tambah tinggi yang dapat menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar.

Dengan tantangan global yang semakin kompleks, perbaikan ekosistem tenaga kerja menjadi hal mendesak. Jika langkah-langkah strategis tidak segera diambil, peningkatan pengangguran bisa berlanjut dan memperlambat momentum pemulihan ekonomi nasional.

Terkini